Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922. Menentang thesis yang didraf oleh Lenin dan diadopsi pada Kongres Kedua, yang telah menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) dipilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921, tetapi pada tahun berikutnya dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda oleh pihak otoritas koloni. Setelah proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, dia kembali ke Indonesia untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dia menjadi ketua Partai Murba (Partai Proletar)), yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengorganisir kelas pekerja oposisi terhadap pemerintahan Soekarno. Pada bulan Februari1949 Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.
Komunisme dan Pan-Islamisme (terjemahan)
Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009
Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009
Kamerad! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan kamerad-kamerad Eropa lainnya, serta berkenaan dengan pentingnya, untuk kita di Timur juga, masalah front persatuan, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai Komunis Jawa, untuk jutaan rakyat tertindas di Timur.
Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner. Karena, seperti yang harus kita akui, pembentukan sebuah front bersatu juga perlu di negara kita, front persatuan kita tidak bisa dibentuk dengan kaum Sosial Demokrat tetapi harus dengan kaum nasionalis revolusioner. Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan, sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boikot atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya, seberapa jauh kita akan terlibat?
Metode boikot, harus saya akui, bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah salah satu senjata paling tajam yang tersedia pada situasi penaklukan politik-militer di Timur. Dalam dua tahun terakhir kita telah menyaksikan keberhasilan aksi boikot rakyat Mesir 1919 melawan imperialisme Inggris, dan lagi boikot besar oleh Cina di akhir tahun 1919 dan awal tahun 1920. Gerakan boikot terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa melihat bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk pemboikotan lain akan digunakan di timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah sebuah metode borjuis kecil, satu metode kepunyaan kaum borjuis nasionalis. Lebih jauh kita bisa mengatakan; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap kapitalisme domestik; tetapi kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada 1800 pemimpin yang dipenjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer yang sangat revolusioner, dan gerakan boikot ini telah memaksa pemerintahan Inggris untuk meminta bantuan militer kepada Jepang, untuk menjaga-jaga kalau gerakan ini akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para pemimpin Mahommedan di India – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara – pada kenyataannya adalah kaum nasionalis; kita tidak melihat sebuah pemberontakan ketika Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham seperti halnya setiap kaum revolusioner disana: bahwa sebuah pemberontakan lokal hanya akan berahir dalam kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau militer lainnya di sana, oleh karena itu masalah gerakan boikot akan, sekarang atau di hari depan, menjadi sebuah masalah yang mendesak bagi kita kaum Komunis. Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak kaum Komunis yang cenderung ingin memproklamirkan sebuah gerakan boikot di Jawa, mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia telah lama dilupakan, atau mungkin ada semacam pelepasan mood Komunis yang besar di India yang bisa menentang semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan mendukung?
Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah yang panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita telah bekerja sama dengan kaum Islamis. Di Jawa kita memiliki sebuah organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara tahun 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah gerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner.
Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasii pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
Namun pada tahun 1921 sebuah perpecahan timbul karena kritik yang ceroboh terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agen-agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi perpecahan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani jelata? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir. Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan sangat baik. Jadi kita pecah. [Ketua: Waktu anda telah habis]
Saya datang dari Hindia Belanda, dan menempuh perjalanan selama empat puluh hari .[Tepuk Tangan]
Para anggota Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut mereka, untuk menggunakan sebuah ekspresi yang popular, tetapi di hati mereka mereka masih bersama Sarekat Islam, dengan surga mereka. Karena surga adalah sesuatu yang tidak bisa kita berikan kepada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuan-peretemuan kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda kita lagi.
Sejak awal tahun lalu kita telah bekerja untuk membangun kembali hubungan kita dengan Sarekat Islam. Pada kongres kami bulan Desember tahun lalu kita mengatakan bahwa Muslim di Kaukasus dan negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Uni Soviet dan berjuang melawan kapitalisme internasional, memahami agama mereka dengan lebih baik, kami juga mengatakan bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda mengenai agama mereka, mereka bisa melakukan ini, meskipun mereka tidak boleh melakukannya di dalam pertemuan-pertemuan tetapi di masjid-masjid.
Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim - ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim [Tepuk Tangan Meriah], karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! [Tepuk Tangan Meriah] Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami.
Ketika sebuah pemogokan umum terjadi pada bulan Maret tahun lalu, para pekerja Muslim membutuhkan kami, karena kami memiliki pekerja kereta api di bawah kepemimpinan kami. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu saja kami mendatangi mereka, dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah mengatakan bahwa di dunia ini pekerja kereta api adalah lebih berkuasa! [Tepuk Tangan Meriah] Pekerja kereta api adalah komite eksekutif Tuhan di dunia ini. [Tertawa]
Tapi ini tidak menyelesaikan masalah kita, jika kita pecah lagi dengan mereka kita bisa yakin bahwa para agen pemerintah akan berada di sana lagi dengan argumen Pan-Islamisme mereka. Jadi masalah Pan-Islamisme adalah sebuah masalah yang sangat mendadak.
Tapi sekarang pertama-tama kita harus paham benar apa arti sesungguhnya dari kata Pan-Islamisme. Dulu, ini mempunyai sebuah makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia, pedang di tangan, dan ini harus dilakukan di bawah kepemimpinan seorang Khalifah [Pemimpin dari Negara Islam – Ed.], dan Sang Khalifah haruslah keturunan Arab. 400 tahun setelah meninggalnya Muhammad, kaum muslim terpisah menjadi tiga Negara besar dan oleh karena itu Perang Suci ini telah kehilangan arti pentingnya bagi semua dunia Islam. Hilang artinya bahwa, atas nama Tuhan, Khalifah dan agama Islam harus menaklukkan dunia, karena Khalifah Spanyol mengatakan, aku adalah benar-benar Khalifah sesungguhnya, aku harus membawa panji [Islam], dan Khalifah Mesir mengatakan hal yang sama, serta Khalifah Baghdad berkata, Aku adalah Khalifah yang sebenarnya, karena aku berasal dari suku Arab Quraish.
Jadi Pan-Islamisme tidak lagi memiliki arti sebenarnya, tapi kini dalam prakteknya memiliki sebuah arti yang benar-benar berbeda. Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.
Ini adalah sebuah tugas yang baru untuk kita. Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis. Karena itu saya tanya sekali lagi: haruskah kita mendukung Pan-Islamisme, dalam pengertian ini?
Saya akhiri pidato saya. [Tepuk Tangan Meriah]
PIDATO TAN MALAKA DI KONGRES KOMINTERN IV
Ini adalah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxist Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke empat pada 12 Nopember 1922. Mengenai isu yang dibawakan oleh Lenin dan diadopsi dari kongres kedua, yang telah menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka mengusulkan jalan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) telah dipilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada 1921, tapi pada tahun berikutnya dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda(East indies) oleh otoritas colonial. Setelah proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, dia kembali ke Indonesia untuk berparsitipasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dia menjadi ketua Partai Murba (Partai Proletar/ buruh, lawan dari brojuis), yang dibentuk pada 1948 untuk mengorganisir kelas oposisi pada pemerintahan Soekarno. Pada Februari 1949 Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Sodara! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan sodara-sodara eropa lainnya, serta berkenaan dengan kepentingan, untuk kita di timur juga, mengenai perlunya front bersatu, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai Komunis Jawa, for jutaan rakyat tertindas di Timur (Hindia Timur).
Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan tentang sebuah front bersatu di Jawa; mungkin front bersatu kita adalah sesuatu yang bebeda. Tapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front bersatu dengan nasionalisme revolusioner. Seperti yang kita harus ketahui , bahwa membentuk sebuah front bersatu juga perlu bagi Negara kita, front bersatu kita tidak bisa berdampingan dengan para Demokrat Sosial tapi harus bersama para nasionalis revolusioner. Namun, taktik yang digunakan oleh para nasionalis seringkali berbeda dengan cara kita; sebagai contoh, pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan, sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boykot atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya, seberapa jauh kita akan terlibat?
Pemboikotan tersebut, harus saya akui, pasti bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah salah satu senjata paling tajamyang ada pada situasi penaklukan politik-militer di (Hindia)Timur. Dalamm dua tahun terahir kita telah menyaksikan keberhasilan pemboikotan rakyat Mesir 1919 melawan imperialism Inggris, dan lagi pemboikotan besar oleh China di ahir 1919 dan awal 1920. Gerakan Pemboikotan terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa menganggap bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk lain pemboikotan akan terwujud di (Hindia) timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah metode yang cukup borjuis, sesuatu yang dimiliki oleh para borjuis nasionalis. Lebih jauh kita bisa bilang; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap home-grown capitalism; tapi kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada delapan ratus pemimpin menderita di penjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer yang sangat revolusioner, memang gerakan boikot telah memaksa pemerintahan Inggris untuk meminta bantuan militer kepada Jepang,dalam artian hal itu akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para pemimpin The mahommedan di india – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara – adalah para nasionalis yang nyata; kita tidak memiliki rising untuk merekam pada saat Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham apa yang diketahui oleh para pelaku revolusi di sana: bahwa sebuah kebangkitan local hanya bisa berahir dalam kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau material militer lainnya di sana, karena itu pertanyaan dari gerakan boikot akan, sekarang atau nanti, menjadi sebuah tekanan bagi kita para Komunis. Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak Komunis yang cenderung memprokamirkan gerakan boikot di Jawa, mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia teah lama dilupakan, atau mungkin ada semacam perasaan leapas dari Komunis di India sebagaimana yang bisa menantang pada semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan terlibat?
Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita pernah bekerja sama dengan para Islamis. Di Jawa kita punya organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah pergerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner.
Hingga 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, menuju pergerakan popular ini dan membawa propaganda di sana. Pada 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam terlalu gelisah di pedesaan mengenai control pabrik-pabrik dan slogan: Segala kekuasaan untuk para petani miskin, segala kekuasaan hanya untuk para kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam membuat propaganda yang sama dengan milik Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
Namun pada 1921 sebuah keretakan timbul sebagai hasil dari kritik janggal terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi keretakan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan pada Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan keretakan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan untuk seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tak akan ! ini adalah cara seorang Muslim berpikir singkat. Para pembuat propaganda di antara agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasinya dengan sangat baik. Jadi kita memiliki kertakan. (ketua: Waktu Anda telah habis)
Saya datang dari Hindia Belanda, dan melalui perjalanan selama empat hari .(Applause).
Para pengikut Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut mereka, untuk menggunakan sebuah expresi popular, tapi di hati mereka mereka masih bersama Sarekat Islam, dengan surge mereka. Karena surge adalah sesuatu yang tak bisa kita berikan pada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuan-peretemuan kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda lagi.
Sejak ahir tahun lalu kita telah bekerja kearah pembangunan ulang link dengan Sarekat Islam. Pada kongres kita Desember tahun lalu kita bilang bahwa Muslim di Kaukasus dan Negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Soviet dan berjuang melawan Kapitalism Internasional, memahami agama mereka dengan lebih baik, kita juga bilang bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda untuk agama mereka, mereka bisa, meskipun mereka tidak harus melakukannya di berbagai pertemuan tapi di masjid-masjid.
Kita telah ditanya di berbagai pertemuan public: Apakah Anda Muslim - ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan Muslim (Loud applause), karena Tuhan berfirman bahwsanya banyak iblis di antara banyak manusia! (Loud applause.) Jadi kita bebankan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kita tahun lalu kita telah memaksa para pemimpin mereka, melalui para pengikutnya, untuk bekerjasama dengan kita.
Ketika sebuah serangan umum pecah Maret tahun lalu, para pekerja Muslim membutuhkan kita, karena kita memiliki petugas kereta api (railwaymen) di bawah kepemimpinan kita. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu kita mendatangi mereka, dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah berfirman bahwa di dunia railwaymen lebih berkuasa! (Loud applause.) railwaymen adalah pelaksana executive Tuhan di dunia ini. (Laughter)
Pidato Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke 2
Sodara! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan sodara-sodara eropa lainnya, serta berkenaan dengan kepentingan, untuk kita di timur juga, mengenai perlunya front bersatu, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai Komunis Jawa, for jutaan rakyat tertindas di Timur (Hindia Timur).
Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan tentang sebuah front bersatu di Jawa; mungkin front bersatu kita adalah sesuatu yang bebeda. Tapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front bersatu dengan nasionalisme revolusioner. Seperti yang kita harus ketahui , bahwa membentuk sebuah front bersatu juga perlu bagi Negara kita, front bersatu kita tidak bisa berdampingan dengan para Demokrat Sosial tapi harus bersama para nasionalis revolusioner. Namun, taktik yang digunakan oleh para nasionalis seringkali berbeda dengan cara kita; sebagai contoh, pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan, sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boykot atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya, seberapa jauh kita akan terlibat?
Pemboikotan tersebut, harus saya akui, pasti bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah salah satu senjata paling tajamyang ada pada situasi penaklukan politik-militer di (Hindia)Timur. Dalamm dua tahun terahir kita telah menyaksikan keberhasilan pemboikotan rakyat Mesir 1919 melawan imperialism Inggris, dan lagi pemboikotan besar oleh China di ahir 1919 dan awal 1920. Gerakan Pemboikotan terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa menganggap bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk lain pemboikotan akan terwujud di (Hindia) timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah metode yang cukup borjuis, sesuatu yang dimiliki oleh para borjuis nasionalis. Lebih jauh kita bisa bilang; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap home-grown capitalism; tapi kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada delapan ratus pemimpin menderita di penjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer yang sangat revolusioner, memang gerakan boikot telah memaksa pemerintahan Inggris untuk meminta bantuan militer kepada Jepang,dalam artian hal itu akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para pemimpin The mahommedan di india – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara – adalah para nasionalis yang nyata; kita tidak memiliki rising untuk merekam pada saat Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham apa yang diketahui oleh para pelaku revolusi di sana: bahwa sebuah kebangkitan local hanya bisa berahir dalam kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau material militer lainnya di sana, karena itu pertanyaan dari gerakan boikot akan, sekarang atau nanti, menjadi sebuah tekanan bagi kita para Komunis. Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak Komunis yang cenderung memprokamirkan gerakan boikot di Jawa, mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia teah lama dilupakan, atau mungkin ada semacam perasaan leapas dari Komunis di India sebagaimana yang bisa menantang pada semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan terlibat?
Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita pernah bekerja sama dengan para Islamis. Di Jawa kita punya organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah pergerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner.
Hingga 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, menuju pergerakan popular ini dan membawa propaganda di sana. Pada 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam terlalu gelisah di pedesaan mengenai control pabrik-pabrik dan slogan: Segala kekuasaan untuk para petani miskin, segala kekuasaan hanya untuk para kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam membuat propaganda yang sama dengan milik Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
Namun pada 1921 sebuah keretakan timbul sebagai hasil dari kritik janggal terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi keretakan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan pada Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan keretakan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan untuk seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tak akan ! ini adalah cara seorang Muslim berpikir singkat. Para pembuat propaganda di antara agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasinya dengan sangat baik. Jadi kita memiliki kertakan. (ketua: Waktu Anda telah habis)
Saya datang dari Hindia Belanda, dan melalui perjalanan selama empat hari .(Applause).
Para pengikut Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut mereka, untuk menggunakan sebuah expresi popular, tapi di hati mereka mereka masih bersama Sarekat Islam, dengan surge mereka. Karena surge adalah sesuatu yang tak bisa kita berikan pada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuan-peretemuan kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda lagi.
Sejak ahir tahun lalu kita telah bekerja kearah pembangunan ulang link dengan Sarekat Islam. Pada kongres kita Desember tahun lalu kita bilang bahwa Muslim di Kaukasus dan Negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Soviet dan berjuang melawan Kapitalism Internasional, memahami agama mereka dengan lebih baik, kita juga bilang bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda untuk agama mereka, mereka bisa, meskipun mereka tidak harus melakukannya di berbagai pertemuan tapi di masjid-masjid.
Kita telah ditanya di berbagai pertemuan public: Apakah Anda Muslim - ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan Muslim (Loud applause), karena Tuhan berfirman bahwsanya banyak iblis di antara banyak manusia! (Loud applause.) Jadi kita bebankan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kita tahun lalu kita telah memaksa para pemimpin mereka, melalui para pengikutnya, untuk bekerjasama dengan kita.
Ketika sebuah serangan umum pecah Maret tahun lalu, para pekerja Muslim membutuhkan kita, karena kita memiliki petugas kereta api (railwaymen) di bawah kepemimpinan kita. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu kita mendatangi mereka, dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah berfirman bahwa di dunia railwaymen lebih berkuasa! (Loud applause.) railwaymen adalah pelaksana executive Tuhan di dunia ini. (Laughter)
Tapi ini tidak menjawab pertanyaan itu, jika kita mempunyai keretakan lain mungkin kita bisa yakin bahwa para agen pemerintah akan berada di sana lagi bersama Pan-Islamisme mereka. Jadi pertanyaan tentang Pan-Islamisme adalah sebuah pertanyaan yang sangat mendadak.
Tapi sekarang pertam-tama orang harus paham benar apa arti dari kata Pan-Islamisme. Zaman dahulu, ini mempunyai sebuah makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia, pedang di tangan, dan ini harus dilakukan di bawah pemimpin seorang Khalifah, dan Sang Khalifah haruslah keturunan Arab. 400 tahun setelah meninggalnya Muhammad muslim terpisah menjadi tiga Negara besar dan kemudian Perang Suci telah kehilangan arti pentingnya bagi semua dunia Islam. Kemudian hilang arti bahwa, dengan nama Tuhan, Kholifah dan agama Muslim harus menaklukkan dunia, karena Kholifah Sepanyol mengatakan, Aku adalah benar-benar Kholifah, aku harus membawa panji (Islam), dan Kholifah Mesir mengatakan hal yang sama, serta Kholifah Baghdad berkata, Aku adalah Kholifah yang sebenarnya, karea aku berasal dari suku Arab Quraisy.
Jadi Pan-Islamisme tak lagi memiliki arti sebenarnya, tapi kini dalam prakteknya memiliki sebuah arti yang benar-benar berbeda. Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan bangsa, karena bagi pemeluknya islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan lin sebagainya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesame Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga Inggris, Perancis dan Itali, karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia diantara rakyat yang tertinda colonial, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan kekuasaan imperialis yang lain di dunia.
Ini adalah tugas baru kita. Hanya karena kita ingin mendukung perjuangan nasioanal, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis. Karena itu saya tanya sekali lagi: haruskah kita mendukung Pan-Islamisme, dalam pengertian ini?
So I end my speech. (Lively applause)
PROKLAMASI 17-8-1945 PROKLAMASI 17-8-1945 ISI DAN PELAKSANAANNYA
PROKLAMASI 17-8-1945
ISI DAN PELAKSANAANNYA
Tan Malaka (1948)
Kepada Panitia Kongres Rakyat Indonesia Bulan December 1948
Salinan: TEMPAT, 16 December 1948
Yth. Saudara-Saudari: ABIKUSNO TJOKROSUYOSO, CHAIRUL SALEH, SUKARNI DLL. a/n Panitia “KONGRES RAKYAT INDONESIA” YOGYAKARTA
PANITIA YANG MULIA,
Sidang Yang Terhormat!
Bergembira bercampur sedih saya menerima surat undangan saudara Panitia dengan perantaraan Sekertaris Umum, Saudara Chairul Saleh tertanggal 10 Desember 1948, dimana disampaikan permintaan Panitia kepada saya pada KONGRES RAKYAT INDONESIA tanggal 24, 25, 26 Desember 1948 yang akan datang untuk mengadakan PIDATO PENGANTAR (Inleidingsrede) berhubungan acara KONGRES, yaitu:
"PROKLAMASI TGL. 17 AGUSTUS 1945, ISI DAN PELAKSANAANNYA"
Gembira akan lahirnya KONGRES RAKYAT INDONESIA, yang sudah lama ditunggu-tunggu itu. Tetapi sedih karena saya sendiri sangat berhalangan mengunjungi KONGRES itu untuk mengucapkan PIDATO PENGANTAR itu dan cuma dapat mengirimkan PIDATO TERTULIS kepada saudara-saudara, seperti saudara usulkan juga, untuk dibacakan nanti di dalam sidang KONGRES. Bagaimanapun juga, saya merasa lebih gembira daripada sedih, karena saya sedang berada dalam usaha menyelenggarakan SESUATU yang saya harap dan percaya akan menjadi sumbangan yang kuat bagi usaha saudara sekalian.
Tidak begitu saja, tetapi sebaliknya saya harap dan percaya pula, bahwa usaha saudara sendiri akan memberikan sumbangan kepada usaha saya. Dalam hal demikian itu, maka saya rasa, bahwa pada tempatnyalah saya mengucapkan diperbanyak terima kasih atas perhatian dan penghormatan yang saudara sekalian limpahkan atas diri saya dan pada waktunyalah pula saya membulatkan penghargaan supaya KONGRES RAKYAT INDONESIA yang sedang saudara sekalian persiapkan itu akan menjadi sumber kepercayaan, semangat, sikap serta tindakan bagi seluruhnya Rakyat/Murba dan Pemuda kita di seluruhnya kepulauan Indonesia ini, pada tingkat perjuangan yang akan kita naiki di hari depan ini.
Bahwa sesungguhnya, maka KONGRES RAKYAT INDONESIA yang sebenarnya mewakili seluruh Rakyat di seluruh Kepulauan Indonesia itu mengandung HAK MUTLAK untuk memproklamasikan dirinya ke seluruh masyarakat Indonesia sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berhak membentuk Dasar peraturan dan undang-undang bagi Revolusi Indonesia, membentuk Dewan (Parlement) Revolusi, serta membentuk Pemerintahan Rakyat dalam arti bahwa kehendak dan tindakan Rakyat yang semenjak 17 Agustus 1945 membela Revolusi itu.
Tetapi saya sungguh insyaf bahwa waktu-waktu buat segala persiapan; kesulitan perhubungan antara daerah dan daerah serta pulau dan pulau, kesempitan dalam hal berkumpul, bersidang dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan atau lisan di samping kekurangan backing di pihak kita buat mengatasi semuanya itu, maka saya sendiri akan dapat merasa puas, kalau kelak “KONGRES RAKYAT INDONESIA” bisa merintis jalan dan sungguh-sungguh dapat mempelopori KONGRES RAKYAT INDONESIA yang sebenarnya di hari depan, yang selekas mungkin harus diadakan.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Apakah soal yang kita hadapi Sekarang ?
Soal yang kita hadapi sekarang ialah soal kemungkinan yang berhubungan dengan putusan PEMERINTAH BELANDA, seperti yang telah diumumkan pada tgl. 11 bulan December 1948 ini, yakni kurang lebih tiga minggu saja sebelum janji yang harus ditepatinya pada tanggal 1 Januari 1949 yang akan datang.
Putusan tersebut berbunyi lebih kurang:
1. Perundingan Republik-Belanda, yang sudah berlaku 3 tahun, akhirnya diputuskan oleh BELANDA.
2. Selekasnya akan dibentuk SUATU PEMERINTAHAN INTERIN TIDAK DENGAN REPUBLIK.
Kemungkinan yang terpenting, yang akan menimbulkan soal terpenting pula harus kelak kita selesaikan dengan tenang, tepat dan cepat ialah:
1. Adanya perang kolonial kedua, yang dimulai dengan doorstaad sekonyong-konyong buat merobohkan Republik.
2. Tidak doostaad, tetapi blokade pencekik perekonomian serta infiltrasi diteruskan, buat diakhiri dengan ulitmatum.
PANITIA YANG TERHORMAT dan Mulia!
Sidang yang Terhormat!
Saya sendiri tentulah tidak heran tentangan PUTUSAN PEMERINTAH BELANDA serta kemungkinan yang kita akan hadapi itu. Bagi saya sendiri PUTUSAN Belanda yang sekian kali memperhatikan perundingan itu memangnya sudah diputuskannya dari bermula, sebelum dia hendak berunding.
Putusan memperhatikan perundingan itu adalah putusan yang sudah diputuskan terlebih dahulu.
Pula bagi saya sendiri kemungkinan doorstaad itu bukan lagi kemungkinan ini kali saja. Kemungkinan itu telah ada setelah Belanda kembali menginjak bumi Indonesia sesudah dihalaukan oleh Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Tetapi kemungkinan oleh doorstaat itu sering tidak memungkinkan oleh semangat perjuangan Rakyat Indonesia sendiri.
Berhubungan dengan putusan Belanda, yang sudah diputuskannya sebelum berunding itu, serta kemungkinan doorstaat, yang sering tak dimungkinkan oleh persatuan perjuangan rakyat, maka Belanda berunding untuk berunding yakni untuk mengulurkan waktu. Bukan untuk mendapatkan penyelesaian. Dalam waktu yang diulur-ulurkan itu maka Belanda berharap dapat melaksanakan maksud yang terselip dalam hati kecilnya, ialah:
Pertama:
Memperlemah Indonesia dengan jalan blokade ekonomi, menguasai export-import dan perusahaan penting di daerah pendudukan; mengacau-balaukan keuangan Republik; menjalankan “UITHONGERINGS POLITIK” terhadap daerah Republik yang berada dalam kekurangan makanan (daerah minus); mengadakan infiltrasi dalam semua jabatan pemerintahan, ketentaraan dan perekonomian;
Serta melakukan politik memecah belah dikalangan kita dan mendirikan pelbagai Negara Boneka menjalankan politik adu-domba dalam Partai, Serikat Kerja (Serikat Sekerja dan lain-lain organisasi).
Kedua:
Belanda mempererat/memperkuat dirinya sendiri dengan mengirimkan serdadu Belanda ke Indonesia dan memperalat bangsa Indonesia seperti bekas para HEIHO dan bekas polisi HINDIA BELANDA mengurus harta benda Rakyat Indonesia buat menjual/dijual di luar Negeri; memakai pelbagai jenis pengkhianat buat pemimpin bermacam-macam Negara Boneka dan melakukan infiltrasi dalam administrasi, ketentaraan, kepolisian, serikat sekerja, partai dan pemerintahan sendiri.
Ketiga:
Belanda berusaha keras membatalkan dan menghalangi, perhubungan dagang, sosial dan diplomasi antara Republik dan Luar Negeri, serta berusaha keras dengan segala kelicikannya menghambat perhubungan Republik dengan Negeri Luar sebagai negara Merdeka dengan Negara Merdeka; disampingnya itu Belanda berusaha pula menghapusi dunia dengan tafsiran bahwa perundingan Indonesia-Belanda adalah soal Internal-Affairs (urusan dalam rumah tangga) dan bahwa semata-mata polisionil actie atau urusan Perang saudara yang tak perlu dicampuri oleh UNO ataupun sesuatu negara Asing.
Keempat:
Belanda melakukan siasat “FAIT ACCOMPLI” ialah mengadakan sesuatu peristiwa yang boleh dipakai sebagai batu loncatan buat mengadakan aksi yang lebih tinggi. Demikianlah Belanda mengambil tindakan militer, ekonomi serta politik buat nanti dalam perundingan Belanda-Indonesia disodorkan kepada delegasi Indonesia sebagai suatu Bukti Nyata yang harus diakui syahnya sebagai hak-Belanda. Dengan siasat mengadakan FAIT-ACCOMPLI (nasi sudah jadi bubur) sebelum sedang atau setelah perundingan itu, dengan siasat memberikan modal-pendorong kepada Belanda, dalam hal militer, ekonomi dan politik pada perundingan yang akan datang (perundingan mana cuma untuk diperhatikan saja!) maka kita sudah sampai berada di pinggir jurang politik, ekonomi dan militer seperti sekarang ini.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Sejarah perundingan Belanda-Indonesia (setelah + tiga tahun lampau sebuah Organisasi seluruhnya Rakyat Berjuang, dilumpuhkan buat melanjutkan perundingan itu) adalah satu sejarah kesilapan.
Sejarah-penghinaan serta sejarah malapetaka bagi kita semuanya.
Perjanjian Linggarjati dipakai oleh Belanda sebagai “BATU LONCATAN” untuk loncat dari pengakuan atas pengembalian harta benda dan perusahaan Belanda (menurut fasal 14) sampai ke pengakuan kerja-sama dalam hal export-import, keuangan, perekonomian bahkan seterusnya sampai ke pengakuan Kerja-sama dalam urusan kemiliteran dan luar negeri, dimana kepentingan perdagangan Belanda bermaharaja-lela.
Istilah federasi dan dasar Demokrasi untuk menentukan status bagi sesuatu daerah di Indonesia dipakai oleh Belanda sebagai batu loncatan buat meloncat-loncat dari Negara Boneka Pertama ke negara Boneka kedua, ketiga, keempat sampai ke ………ke sekian!
Pengakuan atas Mahkota Belanda, dipakainya pula sebagai batu loncatan buat memindahkan beberapa kekuasaan terpenting kepada recele Unie (Nederland-Indonesia), yang mempunyai Bindend gezag dan untuk membagi-bagi kekuasaan NIS itu diantara beberapa negara Boneka. Diantara pelbagai Negara Boneka itu tentulah dimaksud juga oleh Belanda Negara Republik, yang sudah mengakui Mahkota Belanda, menurut fasal 8 perjanjian Linggarjati itu.
Setelah tafsiran Linggarjati habis dipertengkarkan, setelah laskar Rakyat Jakarta Raya diserbu dan dilucuti oleh tentara Republik pada pertengahan bulan April tahun 1947, setelah tentara Belanda sudah siap berkumpul di depan Rakyat Indonesia yang lama tertipu dan dunia Internasional, yang di-nina-bobokan oleh persetujuan Belanda-Indonesia, yang sudah dicapai/tercapai itu, maka Belanda mengadakan WAHDELMARS dari Jakarta sampai ke Cirebon, dari Bandung ke Purwokerto, terus ke Gombong beserta WAHDEMARS yang dilakukannya dari Surbaya, Malang dan lain-lainnya di Jawa Timur. Demikian adem-pauze yang diberikan oleh perundingan Indonesia-Belanda selama lebih dari pada satu tahun lamanya itu dipakai oleh Belanda buat meloncat-loncatkan tentaranya dari Nederlands ke Indonesia dan dari tempat ke tempat di kepulauan Indonesia yang sudah merdeka 100% pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945 itu.
Setelah perjanjian Renville tercapai 1 Januari 1948 dan setelah diplomasi Belanda berhasil mengosongkan Kantong di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan ujung lidah saja, maka dengan memakai siasai “FAIT ACCOMPLI” dalam militer, ekonomi dan politik sambil merobek-robek dan memutar-balikkan perjanjian yang dibikinnya sendiri, maka kita sampai kepada perundingan terakhir ini dan mudah diputuskan baru-baru ini.
Ringkasnya: dalam perundingan terakhir ini siasat lama terus dijalankan, ialah perundingan dilakukan buat diperhentikan.
Disamping itu tujuan lama tetap dijalankan ialah memasukan Republik ke dalam jajahan Hindia Belanda dalam corak dan nama baru.
Pemerintah Interin Federal dimana Gubenur Jenderal bertukar corak dan nama menjadi Komisaris Tertinggi seperti yang diusulkan oleh Belanda dan mulanya dalam garis besarnya disetujui oleh Drs. Moh. Hatta (lihat Aide Memoire) tetapi yang ditolak oleh rakyat; seterusnya Negara Indonesia Serikat dikelak kemudian hari itu di bawah Recel Uni Nederland-Indonesia tak lebih dan tak kurang dari pada satu jajahan “Nieuwe Stijl”.
Sekian dalam garis besarnya pelaksanaannya Proklamasi tgl. 17 Agustus 1945 seperti sudah terbentuk dalam persetujuan Linggarjati sebagai usahanya Sutan Syahrir, kemudian dalam perjanjian Renville, sebagai usaha Amir Syarifuddin dan terakhir ini seperti yang terbayang dalam Aide Memoire sebagai hasil daya upayanya PM. Hatta yang gagal.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Kami tiada terkecut atau heran melihat hasil yang diperoleh dengan jalan perundingan itu! Dari semulanya sudah kami perhitungkan hasil yang mungkin diperoleh dengan jalan perundingan seperti yang sudah dilakukan oleh Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin dan Hatta itu.
Bukan kami tiada percaya kepada semua jenis perundingan. Kami tahu juga bahwa satu kali kita berunding dengan membuat perjanjian dengan negara luar manapun juga. Tetapi kami mau berunding dengan atas syarat yang pasti dan dipastikan serta diterima oleh pihak lain lebih dulu.
Kami menolak perundingan yang tiada berdasarkan hak mutlak Rakyat Indonesia, seperti hak atas kemerdekaan, hak atas pembelaan diri dan hak atas kehormatan sebagai Negara Merdeka.
Kami menolak berunding dengan Belanda, karena Belanda hanya akan berunding untuk berunding, untuk mengulur-ulur waktu saja. Karena buat Belanda Involeren, alles verloren en Indie is kurk waarop Nederlans welvaart drijf.
Dengan pengakuan pemulihan semua harta-benda Belanda maka dengan kurk, waarop Nederlands Welvaart drijf itu (basung, di atas terapungnya kemakmuran Belanda itu) akan bertolak malapetaka buat Belanda dan akan kembalilah Indonesia menjadi sapi perahan Belanda dalam corak dan status yang baru.
Sifat kerja sama dengan Belanda semestinya tak lebih dan tak kurang dari kerja-sama Indonesia dengan Negara manapun juga di dunia ini.
Ini berarti pengakuan lebih dahulu atas kemerdekaan 100 % Indonesia, ialah merdeka bagi seluruh kepulauan Indonesia, ialah merdeka bagi penduduk yang 70 juta dan merdeka untuk menentukan arah, sifat dan urusan perekonomian, keuangan, kemiliteran, politik luar Negeri serta kebudayaan Indonesia.
PANITIA YANG TERHORMAT!
Sidang Yang Terhormat!
Inilah artinya isi Proklamasi 17 Agustus, 100 % kemerdekaan dalam memiliki dan mempergunakan semua sifat dan hak dalam faham kenegaraan. Kemerdekaan 100 % itu sudah lepas dari kungkungannya yang dipaksakan atas bangsa Indonesia.
Kemerdekaan 100 % itu tetap menjadi hak mutlak Bangsa Indonesia juga diwaktu terhimpit oleh Kapitalisme-Imperialisme Asing selama tahunan.
Dengan meletusnya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 maka terlepaslah Dewi Kemerdekaan Indonesia dari belenggunya dan terlepaslah semua yang menghimpitnya selama 350 tahun itu.
Sendirinya semenjak 17 Agustus itu kemerdekaan 100 % itu kembali menjadi SUMBER segalanya macam kekuasaan Bangsa Indonesia dalam politik-diplomasi, perekonomian-keuangan, sosial-kebudayaan dll.:
Kembalilah kedaulatan Bangsa Indonesia ke tangannya sendiri.
Pemindahan seluruh atau sebagianpun dari kemerdekaan/kedaulatan Rakyat Indonesia itu ke tangan Asing dengan maksud dan alasan manapun juga walaupun selama satu menit saja dan membagi-bagi kemerdekaan/kedaulatan bangsa Indonesia diantara Bangsa Indonesia dengan bangsa lain manapun juga adalah sesuatu pelanggaran atas proklamasi itu bahkan sesuatu pengkhiatan terhadap Proklamasi yang sudah dibela oleh Rakyat/murba dan Pemuda Indonesia dengan pengorbanan harta benda dan jiwa raganya sendiri.
Kemerdekaan sesuatu bangsa adalah “UNALIENNABLE” (tak boleh dipindahkan ataupun dibagi-bagi).
Bukanlah kemerdekaan 100 % itu sesuatu “hasrat atau cita-cita” lagi bagi Rakyat Indonesia yang sudah diperoleh dengan pengorbanan yang tiada bisa ditebus atau dibatalkan lagi oleh perjanjian apapun dan oleh siapapun juga.
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Bagi kami sendiri sikap serta tindakan yang harus kita ambil terhadap perundingan dengan Belanda serta kemungkinan doorstaad itu sudah kami putuskan tiga tahun lampau, pada saat Belanda kembali menginjak bumi Indonesia kita ini.
Sikap dan tindakan itu sekarangpun sedikitpun kami tiada merasa perlu membatalkan atau merubahnya:
Kalau sang gerilya Jawa Barat belum mendapatkan pelbagai pusat pertahanan seperti sekarang; jika sang Gerilya Jawa Timur belum berusaha keras mendapatkan pelbagai pusat pertahanan pula seperti sekarang ini; jikalau akhrnya Jawa Tengah belum pula lagi bergerak memperlengkapi penyerbuannya Sang Gerilya buat seluruh Jawa seperti kini, maka kami umumnya dan saya sendiri yang hitam atas putih semenjak permulaan Revolusi sudah memajukan siasat-gerilya itu akan terpaksa bersikap menunggu-nunggu dan menciptakan (mencipta-berteori saja).
Tetapi dengan bangunannya kembali, atas kekuatannya sendiri Laskar Rakyat Jawa Barat, yang dipukul sehebat-hebatnya pada bulan April tahun 1947, maka tujuh bulan lampau dengan lebih-pasti lagi saya menguatkan pendirian saya dengan menuliskan pendapat saya tentangan senjata kita dalam perjuangan Kemerdekaan ini dalam risalah bernama Sang Gerillya dan Gerpolek.
Dengan siasat ber-gerilya atas kemiliteran, politik dan ekonomi di seluruh kepulauan Indonesia, disamping siasat Aksi Murba teraturlah kita akan dapat mengusir imperialis manapun juga yang berbicara dan bercorak apapun juga dapat juga dari pantai laut dan Udara Indonesia ini dan dengan jalan demikianlah kita dapat melaksanakan ISI Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi untuk memelihara dan mempertebal keyakinan dan tekad para anak-prajurit kita, maka menurut pikiran saya, haruslah kita para pemimpin sendiri lebih dahulu dengan sungguh-ikhlas mengambil pelajaran dari perundingan-Indonesia (perundingan Indonesia-Belanda) selama tiga tahun ini dan membulatkan perhatian dan usaha kita kepada sikap dan tindakan: BERUNDING ATAS PENGAKUAN KEMERDEKAAN 100 % SESUDAH TENTARA ASING MENINGGALKAN PANTAI DAN LAUTAN INDONESIA!
Panitia Yang Mulia!
Sidang Yang Terhormat!
Hendaknya kita sendiri jangan goncang bimbang memegang sikap semacam itu. Hendaknya di hari depan kita jangan lagi dapat ditipu dengan pemerintah seperti perintah genjatan senjata, Pengosongan kantong dan penarikan tentara ke garis belakang dan lain-lain, karena semuanya perintah semacam itu cuma tipu muslihat Belanda saja buat mengulur waktu dalam maksudnya membatalkan Proklamasi 17 Agustus dan mengembalikan status penjajahannya.
Hendaknya Kongres ini memusatkan perhatian serta usahanya disekitar soal yang merintis saja, buat membulatkan tenaga menentang doorsaat seperti soal:
1. mobilisasi dan persenjataan umum.
2. pembagian makanan-pakaian kepada rakyat.
3. melaksanakan Demokrasi.
4. dan lain-lain sebagainya.
Hendaknya kongres memusatkan perhatian dan usahanya, supaya selekas mungkin dapat mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang sesungguhnya yang mewakili tiap-tiap Daerah Gerilya di kepulauan Indonesia sendiri, dalam keadaan manapun dan diwaktu bilapunjuga.!
PANITIA YANG MULIA!
Sidang Yang Terhormat!
Dengan ini saya takjub menundukkan kepala menghadap kepada saudara pemimpin Kongres Rakyat Indonesia sambil membulatkan dan memusatkan pengharapan saya:
Supaya, pertama dengan segera dapat dipersatukan semuanya tenaga yang ikhlas berjuang berkorban.
Supaya, kedua dengan cepat, tegas dapat dibersihkan semua pengacau pengkhianat di tengah kita.
Supaya, ketiga dengan cepat atau lambat serdadu Belanda yang terakhir dapat dihalaukan ke laut.
Supaya, keempat ISI kemerdekaan 100 % dapat diselenggarakan dan
Supaya, kelima dengan demikian Proklamasi 17 Agustus dilaksanakan.
Akhirul kalam, saya membulatkan pengharapan, supaya dalam Kongres Rakyat Indonesia ini terdapat suasana saling percaya-mempercayai serta suasana keikhlasan memberi dan menerima buat mendapatkan KATA SEPAKAT, yang akan dilaksanakan dengan segala kejujuran, ketaatan dan kebijaksanaan sambil mengatasi semua ragam PROVOKASI dari pihak musuh dan kaki tangannya sudah terlampau banyak dan aman berada ditengah-tengah kita.
Sekian! Selesai
SELAMAT BERKONGRES!
M E D E K A!!!!!
(TAN MALAKA)
Communism and Pan-Islamism
Tan Malaka (1922)
This is a speech made by the Indonesian Marxist Tan Malaka at the Fourth Congress of the Communist International in November 12, 1922. Taking issue with the theses drafted by Lenin and adopted at the Second Congress, which had emphasised the need for a "struggle against Pan-Islamism", Tan Malaka argued for a more positive approach. Tan Malaka (1897-1949) was elected chairman of the Communist Party of Indonesia in 1921, but the following year he was forced to leave the East Indies by the colonial authorities. After the proclamation of independence in August 1945, he returned to Indonesia to participate in the struggle against Dutch colonialism. He became a leader of the Partai Murba (Proletarian Party), formed in 1948 to organise working class opposition to the Soekarno government. In February 1949 Tan Malaka was captured by the Indonesian army and executed.
Comrades! After hearing the speeches made by General Zinoviev, General Radek and other European comrades, and having regard to the importance, for us in the East as well, of the question of the united front, I think that I have to speak up, in the name of the Communist Party of Java, for the thousands of millions of the oppressed peoples of the East.
I have to put a few questions to the two generals. Perhaps General Zinoviev was not thinking about a united front on Java; perhaps our united front is something different. But the decision of the Second Congress of the Communist International means in practice that we have got to form a united front with revolutionary nationalism. Given, as we must recognise, that forming a united front is necessary in our country too, our united front cannot be with Social Democrats but has to be with revolutionary nationalists. But tactics used by the nationalists against imperialism very often differ from ours; take, for instance, the boycott and the Muslim liberation struggle, Pan-Islamism. These are the two forms which I am particularly considering, so I ask the following questions. First, are we to support the national boycott movement or not? Second, are we to support Pan-Islamism, yes or no? If yes, how far are we to go?
The boycott, I must admit, is certainly not a Communist method, but it is one of the sharpest weapons available in the situation of politico-military subjugation in the East. Within the last two years we have seen the success of the Egyptian people's 1919 boycott against British imperialism, and again of the great Chinese boycott at the end of 1919 and the beginning of 1920. The most recent boycott movement has been in British India. We can take it that in the next few years other forms of boycott will be employed in the East. We know that it is not our method; it is a petty bourgeois method, something that belongs to the nationalist bourgeoisie. We can say more; that the boycott means support for home-grown capitalism; but we have also seen that following on the boycott movement in British India, there are now eighteen hundred leaders languishing in jail, that the boycott has generated a very revolutionary atmosphere, indeed that the boycott movement actually forced the British government to ask Japan for military assistance, in case it should develop into an armed uprising. We also know that the Mahommedan leaders in India - Dr. Kirchief, Hasret Mahoni and the Ali brothers - are in reality nationalists; we had no rising to record when Gandhi was arrested. But people in India know very well what every revolutionary there knows: that a local rising can only end in defeat, because we have no weapons or other military material there, hence the question of the boycott movement will, now or in the future, become a pressing one for us Communists. Both in India and in Java we are aware that many Communists are inclined to proclaim a boycott movement on Java, perhaps because Communist ideas emanating from Russia have been so long forgotten, or perhaps because there was such an unleashing of Communist feeling in British India as could challenge the whole movement. In any case we are faced with the question: Are we to support this tactic, yes or no? And how far can we go?
Pan-Islamism is a long story. First of all I will speak about our experiences in the East Indies where we have cooperated with the Islamists. We have in Java a very large organisation with many very poor peasants, the Sarekat Islam (Islamic League). Between 1912 and 1916 this organisation had one million members, perhaps as many as three or four million. It was a very large popular movement, which arose spontaneously and was very revolutionary.
Until 1921 we collaborated with it. Our party, consisting of 13,000 members, went into this popular movement and carried out propaganda there. In 1921 we succeeded in getting Sarekat Islam to adopt our programme. The Islamic League too agitated in the villages for control of the factories and for the slogan: All power to the poor peasants, all power to the proletarians! So Sarekat Islam made the same propaganda as our Communist Party, only sometimes under another name.
But in 1921 a split occurred as a result of clumsy criticism of the leadership of Sarekat Islam. The government through its agents in Sarekat Islam exploited this split, and it also exploited the decision of the Second Congress of the Communist International: Struggle against Pan-Islamism! What did they say to the simple peasants? They said: See, the Communists not only want to split, they want to destroy your religion! That was too much for a simple Muslim peasant. The peasant thought to himself: I have lost everything in this world, must I lose my heaven as well? That won’t do! This was how the simple Muslims thought. The propagandists among the government agents exploited this very successfully. So we had a split. [Chairman: Your time is up.]
I have come from the East Indies, and travelled for forty days. [Applause.]
The Sarekat-Islamists believe in our propaganda and remain with us in their stomachs, to use a popular expression, but in their hearts they remain with the Sarekat Islam, with their heaven. For heaven is something we cannot give them. Therefore, they boycotted our meetings and we could not carry on propaganda any more.
Since the beginning of last year we have worked towards re-establishing the link with Sarekat Islam. At our congress in December last year we said that the Muslims in the Caucasus and other countries, who cooperate with the Soviets and struggle against international capitalism, understand their religion better, and we also said that, if they want to make propaganda for their religion, they can do so, though they should not do it in meetings but in the mosques.
We have been asked at public meetings: Are you Muslims – yes or no? Do you believe in God – yes or no? How did we answer this? Yes, I said, when I stand before God I am a Muslim, but when I stand before men I am not a Muslim [loud applause], because God said there are many devils among men! [Loud applause.] Thus we inflicted a defeat on their leaders with the Qur’an in our hands, and at our congress last year we compelled the leaders of the Sarekat Islam, through their own members, to cooperate with us.
When a general strike broke out in March last year, the Muslim workers needed us, as we have the railwaymen under our leadership. The Sarekat Islam leaders said: You want to cooperate with us, so you must help us, too. Of course we went to them, and said: Yes, your God is powerful, but he has said that on this earth the railwaymen are more powerful! [Loud applause.] The railwaymen are God’s executive committee in this world. [Laughter.]
But this does not settle the question, and if we have another split we may be sure that the government agents will be there again with their Pan-Islamism. So the question of Pan-Islamism is a very immediate one.
But now one must first understand what the word Pan-Islamism really means. Once, it had a historical significance and meant that Islam must conquer the whole world, sword in hand, and that this must take place under the leadership of the Caliph, and the Caliph must be of Arabian origin. About 400 years after the death of Mohammed the Muslims split into three great states and thus the Holy War lost its significance for the entire Muslim world. It thus lost the meaning that, in the name of God, the Caliph and the Muslim religion should conquer the whole world, because the Caliph of Spain said, I am the true Caliph, I must carry the banner, and the Caliph of Egypt said the same, and the Caliph of Baghdad said, I am the real Caliph, since I am from the Arabian tribe of Quraish.
So Pan-Islamism no longer has its original meaning, but now has in practice an entirely different meaning. Today, Pan-Islamism signifies the national liberation struggle, because for the Muslims Islam is everything: not only religion, but also the state, the economy, food, and everything else. And so Pan-Islamism now means the brotherhood of all Muslim peoples, and the liberation struggle not only of the Arab but also of the Indian, the Javanese and all the oppressed Muslim peoples. This brotherhood means the practical liberation struggle not only against Dutch but also against English, French and Italian capitalism, therefore against world capitalism as a whole. That is what Pan-Islamism now means in Indonesia among the oppressed colonial peoples, according to their secret propaganda – the liberation struggle against the different imperialist powers of the world.
This is a new task for us. Just as we want to support the national struggle, we also want to support the liberation struggle of the very combative, very active 250 million Muslims living under the imperialist powers. Therefore I ask once again: Should we support Pan-Islamism, in this sense?
So I end my speech. (Lively applause).
Brief
Tan Malaka
Geschreven: 1924
Bron: Tan Malaka, levensloop van 1897 tot 1945. door H. A. Poeze, Nijhoff Den Haag 1976 - Met toestemming van de auteur
China, 29 augustus 1924
Ondergetekende, Tan Malacca, wegens politieke redenen in maart 1922 uit Indonesië verbannen, geeft te kennen:
dat hij wegens onmogelijkheid voor hem een bestaan in Europa te vinden, thans in China verblijf houdt en als correspondent van Chinese en Filippijnse bladen in zijn levensonderhoud moet voorzien, dat hij echter gedurende een jaar verblijf in Azië in drie verschillende landen drie maal ernstig ziek is geweest;
dat hij de namen der bladen, waaraan hij sedert ongeveer een jaar werkzaam is, de namen der landen en plaatsen, waar hij ziek geweest was en de namen der doktoren, die hem hadden behandeld. niet nader kan aanduiden, omdat hij in geval van weigering van zijn verderop te noemen verzoek, vreest In zijn verdere arbeid te worden belemmerd of onmogelijk gemaakt en zodoende van zijn bestaan te worden beroofd, dat hij echter de geloofwaardigheid omtrent zijn beweringen over die ziekten voorlopig meent te moeten staven met de feiten, dat hij in de jaren 1915 en 1916 ieder jaar in Holland telkens 3 maanden aan ‘pleuris’ had geleden, hetwelk in het begin van 1921 door een zware ‘longontsteking’ in Semarang (Java) werd gevolgd;
dat hij in geval van inwilliging van zijn verderop te noemen verzoek bereid is alle bewijzen omtrent al zijn vorige beweringen te verschaffen;
dat hij thans in zijn eenjarig verblijf in Azië voor de vierde maal ziek is geworden, waarbij hij nu de regering van Nederlands-Indië een afschrift van een dokters verklaring meent te sturen, omdat hij langer verblijf in een vreemd land voor zijn gezondheid fataal acht en in verband met zijn lichamelijke zwakheid het hem minstens zeer moeilijk valt in zijn levensonderhoud te voorzien;
dat hij derhalve de regering van Nederlands-Indië verzoekt hem, om gezondheidsredenen een verblijf in Sukabi of Salatiga of ergens anders, mits op Java, toe te staan, omdat daar allicht een welwillende partijgenoot te vinden is, die hem een onderdak kan verschaffen;
dat hij zonodig, zich voor de snelle gang van zaken bereid verklaart, zich aan beperkingen, omtrent politieke activiteit te onderwerpen;
dat hij echter om alle misverstanden en verkeerde uitleggingen te voorkomen bij voorbaat meent te moeten verklaren, dat hij de eventuele beperkingen omtrent politieke activiteit slechts als ‘force majeure’ zal willen aanvaarden;
dat hij verder duidelijkheidshalve meent te ten verklaren, dat het 2+ jarige zwerversleven zijn overtuiging als communist niet in het minst heeft kunnen doen wankelen, dat hij tenslotte overtuigd is, dat hij onder deze omstandigheden het minste aan de regering van zijn land te hebben verzocht en wel voor het hoogste, waaraan een mens hebben kan, namelijk voor zijn gezondheid en meer;
dat hij derhalve van mening is, dat dit geringe verzoek, door de regering aan een politieke tegenstander wel kan worden ingewilligd, temeer, daar ondanks zijn verbanning de politieke en onderwijsbeweging in Indonesië ongehinderd voortschrijdt en dat tenslotte, hetgeen hij vraagt niet meer is, dan wat aan Dr. Tjipto indertijd door de regering werd toegestaan;
dat om alle bovengenoemde redenen hij de gouverneur generaal van Nederlands-Indië verzoekt hem een spoedig antwoord via het hoofdbestuur der PKI te doen toekomen.
Hoogachtend,
(w.g.) T. Malacca.
di 2:02 AM
Antwoord van Tan Malaka aan de gouverneur-generaal
Tan Malaka
Geschreven: 1925
Bron: Tan Malaka, levensloop van 1897 tot 1945. door H. A. Poeze, Nijhoff Den Haag 1976 - Met toestemming van de auteur
China 16 april 1925
Het besluit uwer regering, gedateerd Buitenzorg 12 maart 1925, inhoudend een afwijzing van mijn verzoek inzake vestiging op Java, doch een toestemming voor een verblijfplaats in de Buitengewesten anders dan Kupang, mits aan zekere voorwaarden — o.a. het geneeskundig onderzoek In Indonesië — wordt voldaan, heb ik in goede staat ontvangen.
Hierbij ben ik zo vrij op te merken, dat dat weigerend antwoord mij geenszins heeft verwonderd en teleurgesteld, integendeel het heeft mij in mijn overtuiging gesterkt, dat mijn partij thans wel veel sterker moest zijn, dan toen ik ze verliet en dat de kloof tussen uw regering en het volk veel scherper is, dan ten tijde der NIP en Sarekat Islam. In die tijd toch, had de regering er geen bezwaren in de drie bekende voormannen der NIP weder in Indonesia toe te laten, terwijl thans ondanks het gebleken is, dat de tot de tanden toe gewapende regering in staat is de weerlozen van de Preangerse mores te leren — zij het nog gevaarlijk voor haar gezag acht een politieke tegenstander, die zwaar is gehandicapt ergens op een plaats, zelfs b.v. op de Pasuruanse toe te laten.
Wel groot moet dus thans de invloed der communisten onder het Indonesische volk zijn! Behalve bovengenoemde, meen ik het bewijs hiervan te hebben gevonden in het aarzelend antwoord uwer regering. Immers deze blijkbaar uit verantwoordelijkheidsbesef tegenover hetzelfde volk dat mijn partij meent te moeten vertegenwoordigen — heeft geen duidelijk ja of neen gezegd, maar meent achterdeurtjes van ‘wenn und aber’ te moeten vinden, indien uw regering mij een plaats buiten Kupang heeft beloofd.
Het spijt mij echter, dat ik geen gebruik kan maken van het vriendeijke aanbod uwer regering, daar ik uw regering niet een plaats op de Buitengewesten had verzocht en vooral daar uw regering die plaats niet
van te voren wilde of kon noemen. Ik kan het volkomen begrijpen, dat het voor een regering, die blijkbaar ‘will try once to be a gentleman’ het straks moeilijker zal vallen haar eer en respect te bewaren, indien zij die plaats van te voren aanwijst, daar zij dan gebonden zou zijn aan haar belofte. Doch van mijn kant is het echter zeer moeilijk te raden, welke plaats buiten Kupang uw regering mocht bedoeld hebben, ik kan niet geloven, dat uw geachte regering het niet zou weten, dat buiten Kupang er nog genoeg plaatsen zijn, zoals Atapupu, PurukCau en andere, waarbij Kupeng nog een hemel zou zijn. Waar uw regering mij de minste plaats op Java meent te moeten weigeren, zal mijn hoop op een plaats in de Buitengewesten beter dan Kupang zeer ongegrond zijn en acht ik een gevaar voor mijzelf op uw aanbod in te gaan.
Tenzij ik mij dan aan de goede wil uwer regering wil overleveren.
De Indonesische geschiedenis op bevel uwer regering zelf geschreven, maakt echter genoeg melding van het goed geloof der volksleiders, als Dipo Negoro en anderen, die zich aan de goede wil uwer helden ‘de Jan Pieters Zoon Koen’ hadden overgegeven, die echter zonder uitzondering slachtoffers van hun goed geloof en de goede wil hunner tegenstanders waren geworden. Daar er naar mijn bescheiden mening het enigste verschil tussen uw regering en die der Jan Pieters Zoon Koen alleen hierin bestaat, dat de laatste tenminste tegen gewapenden vocht, terwijl de uwe weerloze mannen en vrouwen tot vijanden rekent, acht ik het beter niet op uw aanbod in te gaan, temeer daar ik mijzelf verantwoordelijk acht tegenover het volk onder uw regering.
Hoogachtend,
Wg. Tan Malacca.
di 2:01 AM
Brief uit Singapore
Tan Malaka
Geschreven: 4 december 1925
Bron: Tan Malaka, levensloop van 1897 tot 1945. door H. A. Poeze, Nijhoff Den Haag 1976 - Met toestemming van de auteur
4 december 1925
Meneer,
Hedenmorgen heb ik 2 brieven verzonden geadresseerd aan Joe (?) en Sast (?). Heden om 2 uur laat ik deze brief volgen, omdat er iets belangrijks is.
Gisteren is Bukhara (?) van Jambi gekomen, waar hij een maand bij Gh. (Ghaffa) is geweest om het geld terug te vragen. Toen hij daar aankwam had hij voldoende geld als kapitaal, hetwelk door Gh.(Ghaffa) gebruikt is geworden. Maar Gh. wenste met alle geweld een deel van dat geld te hebben.
De zaak zit als volgt in elkaar:
Toen Bukhara in Jambi aankwam trok hij bij Gh. in. Gh. gaf aan Bukhara goederen om deze te verkopen en Gh. zei dat de opbrengst voor Bukhara zou zijn en het meerdere voor Liang (Budisutjitro). Doch de opbrengst was slechts voldoende om Bukhara zijn kapitaal terug te geven. Toch heeft Gh. er een gedeelte van gevraagd, ‘t welk Bukhara hem niet heeft willen geven.
Hierdoor ontstond grote onenigheid. Hierop heeft Gh. gezegd dat hij onze kameraden niet meer wenste te ontvangen en uitte hij vele bedreigingen. Het leek erop of hij ons zou willen verraden. Dat is dan ook de reden dat wij voor ons welzijn van 245 (Singapore) weggaan.
Maar zolang ik U nog niet geschreven heb, kunnen de brieven voor mij bestemd gericht worden aan het laatste adres. Help mij om aan Hadji Chasa (?) te telegraferen, omdat ik daartoe niet bevoegd ben.
Laat hem niet meer het adres Onan road[1] gebruiken. Omdat dat gevaarlijk is. Wanneer het weer veilig is, kom ik zeker terug.
Groetend,
(w.g.) M.
[1] Adres is 84 Onan Road werd als correspondentie adres gebruikt.Het pand werd bewoond door Abdul Ghaffer bin Abdulrahman, een Javaans pelgrimbemiddelaar.
di 2:00 AM
Brief uit Timor
Tan Malaka
Geschreven: 17 augustus 1926
Bron: Tan Malaka, levensloop van 1897 tot 1945. door H. A. Poeze, Nijhoff Den Haag 1976 - Met toestemming van de auteur
Timor (Singapore), 17 augustus 1926
Aan 4 personen.
Mijne heren ‘B(oard) of Dirs (Directors)’ (of the PKI), in de eerste plaats de heren Liang (Budisutjitro), Jhon
(Sardjono), Ilyas (Suprodjo) en Buffalo (Kusno).
De brief dd. 13 augustus 1926 en ondertekend door de heren Ilyas (Suprodjo) en Buffalo (Kusno) hebben wij in orde ontvangen en de inhoud daarvan goed gelezen en begrepen.
Ter verkrijging van een systematisch overzicht is het beter, dat wij de inhoud van bedoelde brief in tweeén splitsen. Het eerste deel handelt over het verslag betreffende de ontmoeting tussen de heren Liang (Budisutjitro), Ilyas (Suprodjo), Jhon (Sardjono) en Buffalo (Kusno), en het tweede deel handelt over de plannen tot oprichting van een nieuwe firma (vereniging) en de smokkelverkoop van tapioca (het illegaal uitbreiden van de PKI).
Wij zullen hier eerst het eerste deel bespreken.
Dit gedeelte komt in het kort hierop neer.
1e. Het besluit van Bangkok (Solo) beoogt niet een cigarettes-verkoop (opstand) in het leven te roepen, doch in het bijzonder om cacao (stakingen) voor te bereiden om dan, wanneer die (stakingen) goed gaan en daarbij (geldelijke) steun kan worden verkregen, over te gaan tot een clgarsrevol. (revolutie).
2e. De opdrachten zijn door de sub-agents (ondersecties) verkeerd begrepen.
3e. De voorbereiding is mislukt; de cacao (stakingen) konden niet worden georganiseerd, nog minder cigarettes (opstand).
4e. Er is een misverstand ontstaan tussen ons en het Head-Office (Hoofdbestuur).
5e. Ter voorkoming van verder verschil van mening, voortspruitende uit dit misverstand, hebben de heren verzocht het besluit van Bangkok (Solo) te willen beschouwen als niet te hebben bestaan.
Nu zullen wij de punten één voor één beantwoorden.
1e. Deze toelichting is strijdig met wat heeft plaatsgevonden. Immers, indien het besluit van Bangkok (Solo) inderdaad beoogde zoals vermeld in punt 1, dan zou de voorbereiding moeten beginnen op Germany (Java) door de Gudangs tea, sugar, sago (vakbonden) VSTP, SBG, SPPL enz. goed te organiseren, terwijl het verstrekken der perniagan (propaganda of verenigingen) op Engeland (Sumatra), France (Celebes) enz. buiten Germany (Java), slechts als een afleidingstactiek diende te worden beschouwd.
Maar, wat is er tot op heden gebeurd sedert het besluit van (Solo) is geslagen? Uit de door ons ontvangen schriftelijke zowel als mondelinge inlichtingen van enige kameraden, plaatselijke leiders, is gebleken, dat bij de uitvoering der opdrachten op Engeland (Sumatra)
1e. Is afgeweken van de voorschriften der perniagan (vereniging);
2e. men er niet ernstig naar streefde om het (communisme) intensief te propageren;
3e. geen behoorlijke aandacht werd geschonken aan de inning der contributies;
4e. alle losse kopers (buitenstaanders, de massa belangstellenden in het algemeen), van welk slag of soort, op hun verklaring te sympathiseren met Tapioca (PLI) en Tobacco (SR), maar direct werden beschouwd als klanten (leden), en genegen om cigar te roken (de revolutie te starten);
5e. men, op elke plaats, waar de cigar (revolutie) zou uitbreken, slechts de beschikking had over weinig cane (geld), dat later vermeerderd zou worden met cane (geld) uit Dobo (Moskou);
6e. (gezegd werd, dat) zodra cane (geld) uit Dobo (Moskou) zou zijn gekomen, men direct zou overgaan tot een (algemene revolutie), welke gepaard zou gaan met een (algemene werkstaking) op (Java)
Bijgevolg is het overduidelijk, dat de (revolutie) zou beginnen op (Sumatra) met cane (geldelijke steun), die nog komen moest; en daarom moet men aannemen, dat wat hier cigars (revolutie) wordt genoemd, volgens de leer der heren Platinum (marxisten), Steal (leninisten) en Gold (communisten) niets anders is dan bloot relletjes, en gelet op dit alles, kan de toelichting in punt 1 . . . niet juist zijn.
2e. Wanneer de opdrachten door de sub-agents (ondersecties) verkeerd worden begrepen, dan rust immers op het Head-Office (Hoofdbestuur) de plicht om de betrokkenen op te roepen en hun op hun fouten te wijzen, en zo nodig de schuldigen, die de vergissing hebben begaan, te straffen.
Maar tot op heden hebben wij niet gehoord van een poging tot correctie in verband met die fouten. Bovendien weten wij, dat het Head-Office (Hoofdbestuur) kort geleden agents (afgevaardigden) naar Engeland (Sumatra) heeft gezonden, doch aan deze afgevaardigden werd niet opgedragen om de fouten te verbeteren; integendeel, hun werd het bevel meegegeven tot versterking der vroeger gegeven opdrachten, evenwel met deze wijziging, dat de tijd om tot verkoop van cigar (revolutie), in werkelijkheid een cigarette (opstand) over te gaan, moest worden uitgesteld tot een nader te bepalen dag in het jaar 1926, zodat de plannen nog onrijper moesten worden. Wij weten, dat een fout, gelijk ten deze is begaan, moeilijk te herstellen is. Maar indien het Head-Office (Hoofdbestuur) dat inderdaad wenste, waarom was het dan niet genegen in te gaan op ons voorstel om een conferentie te Timor (Singapore) te houden ter bespreking van die moeilijke aangelegenheid? Dan hadden wij daar met elkander er over uitvoerig en rijpelijk kunnen beraadslagen. Van daaruit hadden wij toch niet zo moeilijk opdrachten kunnen geven. Dus, de toelichting in punt 2 is . . . ook onjuist.
3e. Wat betreft die mislukte voorbereiding, heeft Hadji Hasan (T. Malakka) dat sinds het bekend worden van het besluit van Bangkok (Solo) toch al meermalen gezegd. Maar het Head-Office (Hoofdbestuur) heeft hen steeds genegeerd. Wat zal het Head-Office (Hoofdbestuur) nu doen?
Hierover zullen wij nader schrijven.
4e. Wat dit punt aangaat, antwoorden wij onmiddellijk: zeer onjuist. Onzerzijds is een misverstand bij het opvatten van het besluit van Bangkok (Solo) uitgesloten.
Waarom durven wij dat te zeggen?
Toe, leest nu eens de onderstaande zin, welke door ons letterlijk is overgenomen uit een schrijven van het Head-Office (Hoofdbestuur) zelf, een officieel stuk ondertekend door Liang (Budisutjitro), Potato (Winanta). en Pen (Sardjono), gedagtekend 16 december 1925, aldus luidende:
Wij hebben een bijeenkomst gehad met de agenten (afgevaardigden of sectieleiders): 270 (Liang d.i. Budisutjitro), 271 (Arch d.i. Aliacham), 272 (Jaja d.i. Jahja), 273 (Jhon d.i. Sardjono), 280 (Gono d.i. Sugono), 283 (Surad d.i. Erat al Hardjomartojo), 286 (Jatim d.i. Jatin of Jatiman), 290 (Sukirno d.i. Sukirno), 292 (Suarno d.i. Suarno), 299 (Kusnow d.i. Kusno), 306 (s.s. Aly d.i. Sutan Said Ali) te 229 (Solo) waarbij besloten werd tot het volgende: ‘Thans zullen wij ons voorbereiden met alle kracht en energie om in de maand juli 1926 een banknote (revolutie) te verwekken, enz . . .'
Zou men zich bij het lezen van zo’n duidelijke zin kunnen vergissen? Zegt nu nogmaals, Heren, welke van de twee zijden hierin gelijk heeft! Geeft ons gelegenheid om houvast te krijgen!
5e. Om het besluit van Bangkok (Solo) als niet te hebben bestaan te beschouwen, daar bestaat, wat ons persoonlijk betreft, geen bezwaar tegen. Maar wij verzoeken U dringend, niet uit het oog te verliezen, dat wij niet enkel vanwege het meningsverschil tussen het Head-Office (Hoofdbestuur) en ons maandenlang polemiseerden. Wij polemiseerden, met de bedoeling om de in het besluit van Bangkok (Solo) zittende, grote fout uit de weg te ruimen; een besluit, hetwelk ons volstrekt niet persoonlijk deert, doch dat een groot gevaar oplevert voor onze perniagaän (vereniging) en voor ons geheel (volk). GIJ moet er zeker van zijn, dat al beschouwen wij het besluit van Bangkok (Solo) als niet te hebben bestaan of al zijn wij er niet in deze wereld (al cijferen wij ons zelf geheel weg), zolang het Head-Office (Hoofdbestuur) bedoelde besluit nog niet heeft vernietigd, het (volk) nog steeds door een groot gevaar wordt bedreigd, in de eerste plaats op Engeland (Swrztr&, waar men steeds wachtende is op het bevel van een Head-Office (Hoofdbestuur) tot de verkoop van cigar (het maken van revolutie) een opdracht, die volgens de eigen mededeling van het Head-Office (Hoofdbestuur) niet zal worden gegeven In verband met de mislukte voorbereiding.
Tegenover ons gooien de heren het besluit van Bangkok (Solo) in de doofpot. Maar, zullen de heren dat ook doen tegenover alle klanten Tapioca en Tobacco (leden van de PKI en SR) en het (volk)? Wij geloven, dat als de heren inderdaad met hart en ziel strijden voor onze perniagaän (vereniging) en (het volk), zij zulk een gevaarlijke dwaalweg niet zullen volgen. Als dit gebeurt, mijne heren, durven wij verzekeren, dat onze perniagaän (vereniging) helemaal te gronde zal gaan, het vertrouwen van (het volk) zal verdwijnen, en dat er kans bestaat, dat wij ons in geen jaren weer zullen kunnen berrtiaga (organiseren).
Nogmaals kort gezegd, er staat ons geen andere weg meer open dan: het besluit van Bangkok (Solo) tegen wil en dank in te trekken. Hoe dat zal moeten geschieden, daar zullen wij te Timor (Singapore) met elkander en met de agenten (afgevaardigden) van Germany (Java), Engeland (Sumatra), enz. over spreken.
Maar, de heren mogen het niet weer verkeerd verstaan, dat een en ander eerst dan zal kunnen geschieden wanneer de heren officieel de fouten van Bangkok (Solo) erkennen.
De heren worden verzocht hierop ten spoedigste te antwoorden.
Met beleefde groeten,
(w.g.) Hadji Hasan (Tan Malaka)
(w.g.) Muchtar (Subakat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar